Sore ini aku menemukan sebuah trit yang berusaha untuk mengingatkan kembali perihal tragedi “pembantaian” yang dilakukan oleh sekelompok massa pada Mei 1998 di berbagai lokasi di Indonesia. Banyak pihak menyesalkan kejadian tersebut, menganggapnya sebagai salah satu sejarah kelam Indonesia. Ada lagi yang mengistilahkan korban-korbannya sebagai “tumbal reformasi”, seakan-akan pembunuhan orang-orang tak bersalah itu suatu keniscayaan agar negara Indonesia bisa mencapai reformasi yang dicita-citakan. Jika memang benar seperti itu, maka patut dicurigai bahwa nuraninya sudah tiada.
Pendahuluan untuk tulisan ini, aku yang dilahirkan tepat setahun sebelum kejadian Mei 1998 tersebut sesungguhnya bukanlah pemerhati sejarah yang ulung. Aku yang baru berumur satu tahun tak memiliki kesempatan untuk memasukkan kejadian itu dalam memori. Apa yang aku ketahui hanyalah sisa-sisa dari yang aku dapat dalam buku sejarah di sekolah menengah, buku-buku di perpustakan, dan artikel-artikel yang berlalu lintas di internet. Lampu kritis perlu dinyalakan setiap membaca, menganalisa, dan memahami sesuatu apapun.
Baru saja aku membaca ulasan Prof. Ariel Heryanto, seorang sosiolog, dalam tulisannya yang berjudul “Perkosaan Mei 1998: Beberapa Pertanyaan Konseptual”, tapi sudah berani membuat tulisan semacam ini hahaha.
Bangsa dan negara itu selalu saja disanding-sandingkan dalam setiap bahasan yang terkait dengannya. Makna dari bangsa itu terkait erat dengan peradaban, kemasyarakatan, dan kemajemukan, sedangkan negara adalah wujud dari militer, birokrasi, kepatuhan, dan kekerasan (Heryanto, 2020). Yang terakhir aku sebutkan, terkait erat dengan pendapat Max Weber mengenai negara (yang aku kutip dari artikel Prof. Ariel Heryanto di atas):
Negara yaitu satu-satunya lembaga yang mengklaim monopoli penggunaan kekerasan sebagai hal yang 'absah' atau lebih tepatnya 'resmi' dalam sebuah teritori yang dikuasainya.
Negara dan bangsa itu bagaikan pria dan wanita. Maskulinitas dan feminitas sejatinya adalah dua hal yang saling menyeimbangkan. Sifat invasif adalah sifat asli dari negara. Penjajahan negara terhadap bangsa hingga saat ini pun seringkali memasuki media. Kekejaman militer Myanmar terhadap etnis Rohingya, represi Tiongkok terhadap suku Uighur, atau penjajahan Israel atas rakyat Palestina adalah wujud-wujud sifat maskulin negara yang invasif. Hilangnya kontrol bangsa (baca: masyarakat & peradaban) terhadap negara, akan membuat negara menjadi buas, melakukan kekerasan terhadap bangsa lain, atau pun bangsanya sendiri.
Maka tak heran atas nama negara, banyak masyarakat menjadi korban. Mau itu korban-korban Tragedi Mei 1998 atau korban represi aparat saat demonstrasi revisi UU KPK dan UU Ciptakerja, negara terbukti melakukan kekerasan. Aku termasuk salah satu orang yang meyakini bahwa Tragedi Mei 1998 itu merupakan agenda negara yang terselubung. Yang jelas, sebagai warga negara, kita harus memastikan negara ini tetap berada dalam kendali bangsa sepenuhnya, dan bebas dari pengaruh negara-bangsa lain tentunya.
Daftar Pustaka:
Heryanto, Ariel (2000) “Perkosaan Mei 1998: Beberapa Pertanyaan Konseptual” dalam Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Nur Iman Subono (ed.), Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, hal. 57-97.
...
Riots In Jakarta on May 14-15, 1998. Camera with flash By Patrick Aventurier/Gamma Liaison |
...
Artikel ini adalah edisi ke-lima belas dari program 100 hari menulis tanpa henti.
Baca edisi sebelumnya disini:
Refleksi & Kontemplasi: Sebab gelapnya sejarah (munawarsatria.blogspot.com)
Refleksi & Kontemplasi: Ancaman Terbesar Umat Manusia (munawarsatria.blogspot.com)
Kontak: linktr.ee/munawarsatria
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak bestari.