Dua tiga hari belakangan, aku dijejali dengan penuturan Tan Malaka soal betapa gelapnya sejarah Hinduisme yang merupakan bagian dari sejarah negara India (dan Asia Selatan pada umumnya) pada masa-masa Veda. Menurutnya hal ini diakibatkan oleh tiadanya nafsu dunia bagi para pembesar-pembesar Hindu zaman itu. Pertapaan, yang dilakukan oleh pendeta-pendeta Hindu, adalah untuk menjauhkan diri dari nikmat duniawi untuk mencapai apa yang disebut dengan penyatuan dengan Tuhan. Itulah puncak religiusitas tertinggi dalam agama Hindu, sehingga sains dan teknologi bukanlah sesuatu yang penting untuk diusahakan. Materialisme adalah bentuk paham duniawi yang sama sekali tidak cocok dengan konsep-konsep Hinduisme.
Disclaimer. Aku bukanlah seseorang yang ahli dalam teologi, sehingga sangat bersedia untuk diberikan saran dan masukan atas berbagai pendapatku dalam tulisan ini. Anggaplah aku saat ini sedang berada di puncak “mount stupid” pada grafik Dunning-Kruger.
Waktu dan tempat adalah komponen penting untuk menjelaskan sejarah. Namun, menurut beliau dalam bukunya, sejarah India dalam zaman Veda sama sekali tidak menjelaskan perihal tempo dan lokasi setiap kejadian. Walaupun tak ada yang bisa dikonfirmasi, setidaknya kita tahu bahwa masyarakat pada zaman itu sama sekali belum terfikir untuk meninggalkan kisahnya bagi masa depan. Yahh, masyarakat yang tingkat religiusitas tertingginya dicapai dengan bertapa dan meninggalkan kehidupan duniawi pastilah tidak akan berfikir sampai kesitu. Kesadaran untuk melakukan ini, menurut buku yang aku baca, barulah muncul saat ketika imigran-imigran dari Tiongkok, Muslim, dan Barat datang ke India dengan berbagai maksud dan tujuan. Barulah pencatat-pencatat sejarah dari berbagai wilayah itu menjelaskan situasi di India pada saat mereka datang.
Satu hal yang bisa kita ambil pelajaran dari sini adalah: mengetahui saja tidak cukup. Jika anda puas hanya karena telah meneliti dan menemukan jawaban atas suatu permasalahan, maka itu tidak akan menghasilkan apa-apa hingga anda menuliskannya sehingga dapat dibaca oleh orang lain dan generasi penerus di masa yang akan datang.
Singkatnya: menulislah, jangan lupa tulis tanggal dan waktunya.
Photo by Balaji Srinivasan on Unsplash |
...
Artikel ini adalah edisi ke-dua belas dari program 100 hari menulis tanpa henti.
Baca edisi sebelumnya disini:
Refleksi & Kontemplasi: Tren (munawarsatria.blogspot.com)
Refleksi & Kontemplasi: Media dan Fokus Masyarakat (munawarsatria.blogspot.com)
Refleksi & Kontemplasi: Satu Impian Lagi (munawarsatria.blogspot.com)
Kontak: linktr.ee/munawarsatria
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak bestari.