Hari ini aku akan coba menggali lebih dalam ayat pertama sumpah/janji apoteker Indonesia, yang berbunyi “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan”.
Kepentingan perikemanusiaan sudah jelas adalah hal yang utama dalam menjalankan bakti keprofesian apoteker, sebab diletakkan dalam urutan yang paling pertama dalam sumpah. Hal ini dikuatkan kembali dalam ayat ketiga sumpah apoteker, yang secara gamblang menyebutkan bahwa pengetahuan kefarmasian yang dimiliki oleh apoteker tidak dapat digunakan untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum perikemanusiaan. Sehingga dua dari enam ayat sumpah apoteker, menitik-beratkan peran penting kemanusiaan dalam menjalankan praktik kefarmasian.
Kemanusiaan sangat kaitannya dengan praktik-praktik di bidang kesehatan, tak terkecuali dokter hewan atau apoteker spesialis veteriner sekalipun. Asas-asas kemanusian paling cocok untuk dikedepankan dalam praktik, daripada asas-asas bisnis atau pun politik serta sosial. Melayani secara manusiawi berarti memperlakukan pasien dengan selayaknya, sebagaimana kita pun ingin diperlakukan. Setiap apoteker, harus menyadari terlebih dahulu bahwa mereka juga hanyalah seorang manusia, yang hidup dan memiliki peran dalam komunitas. Asas-asas kemanusiaan menjaga setiap orang dan peran yang dimainkannya tetap dalam koridor yang sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku. Ketetapan norma dan penetapan hukum itu pun pada dasarnya diletakkan atas dasar kemanusiaan.
Berikut adalah contoh wujud kemanusiaan dalam menjalankan aktivitas keprofesian farmasi. Apabila terdapat pasien yang secara ekonomis terlihat kurang mampu, maka sudah selayaknya bagi apoteker untuk memberikan keringanan-keringanan dalam biaya pelayanan yang diberikan. Apoteker harus cerdas dalam mengambil keputusan terbaik antara kepentingan bisnis/kelangsungan usaha dengan kepentingan kemanusiaan. Tetap memberikan obat bermerek kepada pasien yang secara ekonomi kurang mampu, padahal terdapat opsi obat generik, tanpa memberikan edukasi sedikitpun terhadap obat generik, adalah tindakan yang sangat jahat dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi apabila apoteker memiliki empati yang miskin, sehingga dibutakan oleh kepentingan profit semata.
Oleh karena itu, apoteker harus memiliki jiwa kemanusiaan. Hal ini bisa diasah dan dibentuk, salah satunya dengan melakukan berbagai kegiatan sukarela terhadap masyarakat, berpraktik di daerah terpencil, atau seminimal mungkin melakukan komitmen terhadap lingkungan sekitar dalam bentuk sedekah atau kerja sosial. Empati tidak akan bisa dibentuk dalam sekali-dua kali perbuatan, melainkan dengan pembiasaan. Dengan memiliki kebiasaan berempati, maka setiap apoteker tentu akan lebih termotivasi untuk dapat melakukan setiap pelayanan dengan performa yang terbaik. Sistem pelayanan kesehatan masyarakat pun secara resultan akan meningkat.
Photo by Daria Nepriakhina on Unsplash |
...
Artikel ini adalah edisi ke-enam belas dari program 100 hari menulis tanpa henti.
Baca edisi sebelumnya disini:
Refleksi & Kontemplasi: Ancaman Terbesar Umat Manusia (munawarsatria.blogspot.com)
Kontak: linktr.ee/munawarsatria
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak bestari.