Langsung ke konten utama

CAPEK: Catatan Akhir Pekan: From Thamrin To Gondangdia

Setelah sibuk mengikuti event kampanye pemberlakuan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) dari Forum for Youth Indonesia kemarin, aku gabut dan kembali berjalan-jalan di sekitar Jakarta. Aku nongkrong di danau di kawasan Thamrin, menikmati gestur selamat datang dari Patung Selamat Datang, dan menyusuri jalan-jalan hingga ke Masjid Istiqlal. Pulangnya, kembali menyusuri jalan hingga St. Gondangdia yang benar-benar memiliki arsitektur yang berbeda dengan stasiun KRL pada umumnya. Terutama lantainya, yang sepertinya khas hanya ada di Gondangdia. Selama perjalanan ke sana, tentu karena aku berjalan kaki, aku melewati banyak pemukiman- pemukiman marginal. Kiri apartemen kanan kontrakan. Depan KRL, atas jalan layang. Ojol beristirahat di warung-warung kopi, warteg siap sedia melayani kelaparan dengan masakan Jawa-nya yang khas. Orang asing berbeda kulitnya, bertemu di pinggir jalan, satu keriting satunya pirang. Entah kenapa kupikir mereka bertemu di situ? Bukannya lebih mudah dan fancy jika bertemu di kafe dekat situ? Yaa i don't know, but i think that's their culture?

Event kolaborasi FYIndonesians dan CISDI

Konflik selalu jadi santapan yang dihadapi orang- orang, berapa pun jumlah kuasanya. Membeli segelas kopi pada pedagang kopi bersepeda keranjang bisa membuatnya ditegur oleh polisi yang berjaga. Memposting kampanye pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan bisa membuatmu di-reply dengan: "gapapa minuman naik, asal jangan rokok". Hey? Justru cukai tembakau yang diberlakukan pada rokok seharusnya bisa lebih tinggi lagi, biar uang yang digunakan untuk rokok bisa dipakai untuk membeli bensin lebih banyak, sehingga lebih banyak lagi pesanan Go-Food yang bisa diantarkan? Bukankah begitu cara memutarkan uang yang baik?

Uang itu benda yang ajaib. Kebanyakan uang belum tentu bikin hati jadi tenang. Keinginan untuk beli ini itu, benar-benar bikin dopamine jadi stonks! Kerinduan akan teriakan Paket! dan antusias yang meluap-luap saat unboxing adalah godaan setan yang terkutuk, katanya. Tapi, tak adil bila menyalahkan setan terus. Sebab manusia memang di-design untuk terus merasa greedy. Nafsu zaman prasejarah masih nempel di materi genetik mereka, dan akan terus nempel selama-lamanyai. Penemuan uang, benar-benar sukses mengamplifikasi kerakusan itu, serta membuat sebagian orang bisa memanipulasinya sedemikian rupa agar kekayaannya terus- menerus bertambah dan tidak tergerus inflasi.

Tapi, apa yang diketahui tukang bakso pinggir jalan yang menjajakan dagangannya pada para pegawai yang kebagian shift di sabtu sore tentang inflasi? Yang mereka pahami hanyalah harga barang pasti akan selalu saja naik, dan harus bekerja lebih keras dan lebih pintar lagi mengelola keuangan. Seperti yang dihimbau oleh bapak kepala Kemenparekraf, @sandiuno. Padahal ada sesuatu yang kompleks dibalik itu semua. yang pertama kali digagas oleh Jean Bodin di abad ke-16, dan dikonstruk menjadi rumus MV = PT oleh Irving Fischer.

Rumit? Jelas saja. Simpelnya, makin banyak uang beredar, harga barang dan jasa akan makin naik. Semenjak aku menonton serial akhir zaman dari suatu kanal YouTube, dan mulai mendalami ilmu Ekonomi sama sepekan ini, aku makin yakin kalau The Federal Reserve adalah biang dari segala biang.

Pasalnya, meningkatkan produksi barang dan jasa tidak lebih mudah untuk daripada mencetak uang. Sementara itu, meningkatkannya volume uang yang beredar tentu akan memaksa daya beli untuk naik. Apa yang terjadi jika daya beli yang naik itu tanpa diiringi dengan peningkatan produksi barang dan jasa yang sepadan? Tentu harga-harga akan naik. Most basic law of economy.

Tapi, logikanya harga-harga yang naik itu pasti akan menyesuaikan diri dengan peningkatan produksi barang dan jasa, kan? Benar memang, tapi aku belum bisa berpendapat lebih dari ini. Menurut ilmu dasar ekonomi ku yang cetek ini, peningkatan jumlah uang akan menjadi dampak positif bila disertai pemerataan uang tersebut ke lebih banyak lapisan masyarakat. Buying power kelompok ekonomi kecil berbeda jauh dengan kelompok ekonomi atas, yang relatif resilience terhadap inflasi. Mungkin inilah yang mendasari kebijakan pemerintah untuk menyalurkan bantuan tunai langsung kepada masyarakat, atas kompensasi kenaikan harga. Itu adalah salah satu metode untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah badai inflasi akhir-akhir ini.

Sekian liputan khusus edisi panjang di minggu pagi hari ini. Saya mengutip twit @sandiuno lagi: "Jika kalian pintar dalam mengelola keuangan, saya yakin kalian bisa selamat dan bangkit jauh lebih baik"

Komentar

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak bestari.