Dingin. Menyegarkan fisik dan batin yang jengah akan hal-hal rutin. Ialah sekian dari beribu cita dan rasaku ketika telah menyelesaikan mandi di sungai Cijati. Walaupun airnya tidak sejernih yang di hulu, tetapi kepuasan telah terlampau didapat. Bahkan, terlampau berlebihan. Sampai-sampai menggigil kami dibuatnya. Tetapi, seiring dengan mengumpatnya matahari secara perlahan-lahan di ufuk barat, arus sungai Cijati pun semakin cepat. Sehingga sabun mandiku pun tercuri oleh kecepatan itu. Betapa bahagianya aku ketika menemukan sikat gigiku yang awalnya aku anggap telah di curi juga, di sela-sela bebatuan berlapis bryophyta kehijauan. Tidak lama kemudian, azan maghrib pun berkumandang dengan dilatari suara riak sungai Cijati.
Bersegeralah umat Islam di kampung Cijati berbondong-bondong menuju masjid mereka. Kami bergegas menuju masjid yang terdekat. Setelah bertanya sana-sini, masjid pun kami temukan. Walaupun tempat ibadah seluas ruangan kelas ini pantasnya disebut musala, tetapi aku selalu berpendapat bahwa tempat ibadah umat Islam, bagaimanapun luasnya tetaplah disebut masjid. Sengit aku berargumen dengan Carwan mengenai hal itu, sehingga jika bukan karena cacing-cacing perutku yang telah berteriak-teriak, maka aku pasti akan terus meladeni omongannya.
Ketika memasuki halaman musala, kaki kami yang kotor menodai lantai yang telah dibersihkan sehingga kami pun ditegur oleh seorang bapak, yang sepertinya adalah marbot musala ini.
“Hee, hei, heei..!”. Katanya sambil menelunjuk kakiku.
“Ehh, wan, kaki kita rupanya kotor banget euy..!”. Kataku.
Si Carwan pun meminta maaf kepada Pak Marbot. Aku dengan sigap langsung mencuci kaki, dan mengambil kain pel yang terkulai di sudut koridor. Kami pun membersihkan noda itu dengan cepat untuk segera berwudhu dan menunaikan shalat Maghrib.
Selesai sembahyang, kami kembali bertemu dengan Pak Marbot. Aku menyapanya, meminta maaf sekali lagi dan mengucapkan “Assalamu`alaikum” kepadanya. Dia menjawab salamku, aku lalu mengirimkan isyarat perpisahan dengan mengangkat telapak tangan.
Kami pun kembali ke gedung itu, Bumi Perkemahan Mekarbuana, yang dikenal dengan sebutan Buper (singkatan dari bumi perkemahan) oleh orang-orang Loji. Nama buper itu sangat lengket dengan gedung itu, bukan karena kebiasaan, melainkan karena sebuah fakta bahwa di daerah Loji hanya ada satu buper, yakni gedung itu satu-satunya
Seperti lazimnya sebuah bangunan eksklusif di daerah dataran tinggi, Buper diletakkan lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk di sekitarnya oleh arsiteknya. Didesain sedemikian rupa untuk mendapatkan pemandangan yang indah sehingga menarik minat wisatawan untuk bermalam disitu.
Kami harus mendaki jalan masuk sepanjang lima belas meter. Lintasannya mulus dan licin akibat lumut dan kelembapan yang melekat. Performa outsole sepatu berperan besar dalam proses pendakian ini. Apabila outsole sepatu masih dalam kondisi yang baik dengan gerigi-gerigi dan corak yang masih utuh, mudah saja untuk menaiki jalan masuk itu. Namun, apabila outsole sepatumu telah aus, koefisien gesek antara sepatu dan jalan akan semakin kecil sehingga kemungkinanmu untuk terpeleset akan semakin besar. Ternyata benar, kesalahanku dalam menempatkan pijakan memperbesar kemungkinan itu menjadi seratus persen. Ya! Aku terpeleset. Outsole sepatu kurang ajar.
Team SMANTIKA di Perkemahan Kesbangpol |
Karawang, Jum'at, 14 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan bijak bestari.